Jumat, 24 Desember 2010

La Dana dan Kerbaunya

Cerita dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan
sumber: http://www.budaya-indonesia.org/iaci/La_Dana_dan_Kerbaunya
La Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan kecerdikannya. Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu menjadi kelicikan.
Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta kematian. Sudah menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau itu kecuali bagian kaki belakang.

Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya adalah mereka dapat memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut diterima oleh tuan rumah.
Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar kerbaunya gemuk. Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu berada, dan berkata “Mari kita potong hewan ini, saya sudah ingin makan dagingnya.” Temannya menjawab, “Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk.” Lalu La Dana mengusulkan, “Sebaiknya kita potong saja bagian saya, dan kamu bisa memelihara hewan itu selanjutnya.” Kawannya berpikir, kalau kaki belakang kerbau itu dipotong maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana agar ia mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana untuk memberinya kaki depan dari kerbau itu.
Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian badan kerbau itu asal La Dana mau menunda maksudnya. Baru beberapa hari berselang La Dana sudah kembali kerumah temannya. Ia kembali meminta agar hewan itu dipotong.
Kali ini kawannya sudah tidak sabar, dengan marah ia pun berkata, “Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang lagi untuk mengganggu saya.” La dana pun pulang dengan gembiranya sambil membawa seekor kerbau gemuk.
(Diadaptasi secara bebas dari, Alice M. Terada, “La Dana and His Buffalo,” The Magic Crocodile and Other Folktales from Indonesia, Honolulu: University of Hawaii Press, 1994, hal 123-126)

Asal Usul Gunung Tangkuban Parahu

Cerita dari Tanah Pasundan, Jawa Barat
sumber: http://legendakita.wordpress.com/2007/10/08/asal-usul-gunung-tangkuban-perahu/
Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.

Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan pusing. Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.
Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya.
Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada pada anaknya dimana Tumang berada. Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa, Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.
Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang mulai bekerja. Cintanya yang begitu besar pada Sangkuriang memberinya suatu kekuatan aneh. Tak lupa dia juga menggunakan kekuatan yang dia dapat dari ayahnya untuk memanggil jin-jin dan membantunya. Dengan lumpur dan tanah mereka membendung air dari sungai dan mata air. Beberapa saat sebelum fajar, Sangkuriang menebang sebatang pohon besar untuk membuat sebuah perahu. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya, dia berdoa pada dewa-dewa untuk merintangi pekerjaan anaknya dan mempercepat datangnya pagi.
Ayam jantan berkokok, matahari terbit lebih cepat dari biasanya dan Sangkuriang menyadari bahwa dia telah ditipu. Dengan sangat marah dia mengutuk Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya yang hampir jadi ke tengah hutan. Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan membentuk Gunung Tangkuban Perahu(perahu yang menelungkub). Tidak jauh dari tempat itu terdapat tunggul pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita mengenalnya sebagai Bukit Tunggul. Bendungan yang dibuat Sangkuriang menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan membentuk sebuah danau dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga kini.

Buaya Perompak

Cerita dari Lampung
sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=944647&page=6
Buaya Perompak adalah seekor buaya jadi-jadian yang dulu pernah menghuni Sungai Tulang Bawang, Provinsi Lampung, Indonesia. Buaya jadi-jadian ini terkenal sangat ganas. Konon, sudah banyak manusia yang menjadi korban keganasan buaya itu. Pada suatu hari, seorang gadis rupawan yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang. Benarkah Buaya itu yang menculik Aminah? Lalu bagaimana dengan nasib Aminah selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Buaya Perompak berikut ini!

Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.
Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.
“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.
Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di dinding-dinding gua.
“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya Aminah dalam hati.
Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki menggema.
“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”
Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.
“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.
“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba.,” kata Buaya itu.
“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.
“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.
“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?” tanya Aminah.
“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.
Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.
“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.
“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang,” jawab Aminah.
“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah
“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.
“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah heran.
“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.
Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.
“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku,” jawab Aminah menolak.
Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan.
“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan memangsamu,” ancam Buaya itu.
Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman Buaya itu.
“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab Aminah setuju.
Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu.
Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.
Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.
Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.
Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu.
“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,” Aminah berucap syukur.
Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan.
“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya penduduk desa itu.
“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.
Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.
Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.
Demikian cerita Buaya Perompak dari darah Tulang Bawang, Lampung, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat tidak mudah putus asa dan keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain.
Pertama, keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Aminah yang tidak mudah putus asa menghadapi ancaman Buaya Perompak. Dengan kecerdikannya, ia pun berhasil mengelabui Buaya Perompak itu dan berhasil menyelamatkan diri. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat tidak mudah putus asa dapat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih.
Kedua, keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Somad (perompak) yang senantiasa merampas harta benda setiap penduduk yang melewati Sungai Tulang Bawang. Akibat perbuatan jahatnya tersebut, ia pun terkena kutukan menjadi seekor buaya. Dalam kehidupan orang Melayu, merampas hak milik orang lain merupakan perbuatan keji dan sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa merampas hak milik orang,
azabnya keras bukan kepalang
siapa mengambil hak milik orang,
Tuhan murka orang pun perang

Asal Mula Nama Palembang

sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=944647&page=6
Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Ba*tanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara.

Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.
Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang kemudian berubah menjadi pen*duduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering me*ngatakan akan ke Lembang. Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur per*dagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun berubah menjadi Palembang
Penulis: M.B. Iman Santoso.

Mandangin

Cerita dari Kalimantan Tengah
sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=944647&page=6

Di sebuah tempat di daerah Tumbang Manjul tepatnya kurang lebih 43 kilo meter dari Desa Tumbang judul Manjul terdapat mitos tentang sebuah kerajaan makhluk baik.
Konon diceritakan bahwa di Sungai Mandaham desa Tumbang Manjul terdapat gaib yaitu Perek Rango yang dikuasai oleh titisan dari dewa angin.
Pada jaman dahulu sebuah hutan belantara yang tak jauh dari muara Sungai Mandaham hiduplah sepasang suami istri yaitu nyai Rangkas dan Sangkajang.

Nyai Rangkas adalah keturunan dari makhluk gaib yang tinggal di kawasan Bukit Kejayah namun karena ia jatuh cinta dan kimpoi dengan Sakajang keturunan manusia biasa maka ia diusir dari Kerajaan Kejayah. Demi suami tercintanya Sakajang Nyai Rangkas rela meninggalkan keluarganya hingga akhirnya mereka tinggal di hutan dekat muara Sungai Mandaham. Karena saling mencintai hidup pasangan suami istri itu sangat rukun bahagia. Dalam kebersamaan mereka selalu saling membantu dan saling melengkapi kekurangan satu sama lainnya.
Setelah sekian lama bersama akhirnya mereka menyadari bahwa ada yang kurang dari kebahagiaan yang telah mereka nikmati selama ini, karena sudah sekian lama mereka hidup bersama namun pasangan suami istri itu belum juga dikaruniai keturunan. Untuk memperoleh keturunan pasangan suami istri itu rela melakukan apa saja, sudah berbagai macam ramuan mereka gunakan namun belum juga dikarunia seorang anak sampai pada suatu malam Nyai Rangkas bermimpi ia akan mendapatkan keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun untuk memperolehnya ia harus melakukan pada malam bulan purnama, dan ritual pertapaan itu dilakukan di sebuah batu besar di tepi Sungai Mendahan sebelah hulu.
Malam berganti fajar Nyai Rangkas terjaga dari mimpi. Kemudian ia bangun dan keluar dari gubugnya untuk melihat keadaan sekeliling rumah mereka kemudian ia masuk kembali dan duduk di samping suaminya sambil memikirkan mimpinya mendapat keturunan. Tak lama kemudian suaminya bangun dan iapun menghampiri suaminya untuk menceritakan perihal tentang mimpinya itu kepada sang suami tercinta, dan sang suami pun mendengarkan dengan baik cerita istrinya. Namun setelah mendengar cerita dan istrinya, Sakajang merasa resah dan kebingungan menentukan sikap. Di satu sisi ia ingin sekali melihat istrinya bahagia dengan mendapatkan keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun di sisi lain ia tidak tega jika harus membiarkan istrinya sendiri di hutan selama sembilan hari sembilan malam dan hatinyapun tidak ingin berpisah dengan istri tercintanya. Walaupun hanya dalam waktu sebentar. Sebaliknya Nyai Rangkas ingin sekali melaksanakan ritual pertapaan seperti yang ditunjukkan dalam mimpinya, ia merasa sangat yakin kalau ia menjalankan pertapaan tersebut.
Namun sayang suami Nyai Rangkas tidak mengijinkannya untuk pergi bertapa meski ia sudah berkai-kali memohon agar suaminya memberikan ijin sampai pada suatu malam dimana pada malam itu merupakan bulan purnama yang telah ditunggu-tunggu oleh Nyai Rangkas, ia pergi diam-diam dari sisi suaminya yang sedang tidur lelap. Dengan langkah mengendap-endap Nyai Rangkas pergi keluar meninggalkan suaminya menuju hutan dengan menyusuri tepi sungai Mandahan dan untuk mencari batu besar sebagai tempat melakukan ritual pertapaan seperti yang ditunjukkan dalam mimpinya. Karena pada malam itu cahaya bulan terang sekali sehingga Nyai Rangkas tidak mengalami banyak kesulitan dalam perjalanan, sampai akhirnya ia menemukan batu besar seperti yang ada dalam mimpinya.
Setibanya ditempa tujuan Nyai Rangkas mengelilingi batu besar tersebut untuk mencari jalan naik menoleh ke kiri dan tekanan serta sesekali membalikkan badan untuk melihat keadaan di sekitarnya. Sesaat ia tempat kebingungan tiba-tiba terdengar suara seruan “Nyai Rangkas jika kau ingin mendapatkan seorang anak dari titisanku maka lakukanlah ritual pertapaan ditengah batu besar itu selama sembilan hari sembilan malam dengan posisi duduk menghadap arah matahari terbit”.
Mendengar suara seruan itu Nyai Rangkas merasa semakin yakin dengan firasat mimpinya, hingga akhirnya iapun duduk ditengh batu besar tersebut dengan posisi menghadap arah matahari terbit.
Dengan penuh keyakinan Nyai Rangkas melakukan ritual pertapannya, sementara sama suami yang ia tinggalkan panik dan bingung karena melihat isterinya tidak ada di rumah. Ketika hari mulai terang ia mencari isterinya di sekiling rumah tempat mereka tinggal seraya memanggil “Nya, … dimana kamu ! Nyai .. pulanglah ! sang suami terus memanggil nama isterinya sampai matahari hampir terbenam namun ia tak juga menemukan isteri tercinta. Karena hari sudah mulai gelap ia pun kembali pulang ke rumah meski ia sangat khawatir sekali dengan keadaan isterinya.
Malam sudah semakin larut namun Sakajang pun tak mampu memejamkan mata karena memikirkan kemana perginya sang isteri. Ketika melamunkan nasibnya yang sudah ditinggalkan sang isteri tercinta tiba-tiba sekarang teringat akan mimpi isterinya dan keringinannya untuk pergi bertapa mencari keturunan…..
Semalaman Sakajang tak bisa tidur dan pagi-pagi ia pergi ke hutan untuk mencari isterinya. Ia menelusuri hutan tepi sungai mandahan namun anehnya ia tidak menemukan tempat seperti yang diceritakan istrinya, meski demikian ia tetap tidak putus asa sampai akhirnya ia berjalan di sebuah rawa dan bertemu dengan seekor serigala yang sangat buas. Meski demikian Sakajang tetap tegar menghadapinya. Langkah demi langkah serigala buas itu mendekati Sekajang dengan cakar dan taringnya yang panjang seolah-olah siap menerkam hingga akhirnya terjadi perkelahian antara Sekajang dan serigala buas itu. Mereka saling bergelut di tanah rawa yang berlumpur .
Dalam perkelahian itu Sakajang terluka dan jatuh terkapar di atas lumpur sehingga dengan mudah serigala buas itu menerkamnya kembali dan menancapkan taringnya pada bagian tubuh Sakajang hingga akhirnya tewas dan menjadi santapan serigala yang kelaparan tadi. Alangkah malangnya nasib Sakajang, bertujuan pergi mencari istri tercinta namun di perjalanan menjadi mangsa serigala buas.
Hari demi hari berlalu, ritual pertapaan telah dilakukan oleh Nyai Rangkas dengan sempurna, dan ketika ritual itu selesai tiba-tiba angin bertiup dengan sangat kencang, langit tampak bercahaya kemudian terdengar kembali seruan “Nyai Rangkas sekarang kamu telah mendapatkan yang kamu inginkan, tugas kamu adalah memelihara titisanku itu dengan baik karena suatu saat ia akan menjadi pembawa kedamaian bagi sebuah kerajaan yang sedang dalam kekacauan!”
Mendengar suara seruan tersebut Nyai Rangkas merasa semakin yakin kalau ia telah mengandung seorang anak yang dititiskan oleh dewa angin. Karena ritual pertapaan telah selesai maka Nyai Rangkas pun turun dan meninggalkan batu besar itu dengan hati yang berbunga-bunga. Ia kembali menyusuri tepi sungai dan pulang ke rumah dengan harapan memberikan kejutan untuk suami tercintanya.
Setibanya di rumah Nyai Rangkas melihat keadaan rumah sepi, senyap dan berantakan kemudian ia memanggil-manggil suaminya. Abang … abang … abang ada dimana ? saya ada berita gembira untuk abang ! setelah beberapa kali memanggil suaminya Nyai Rangkas tak jua mendengarkan jawaban dari suaminya. Hingga kemudian Nyai Rangkas keluar dan mencari suaminya di sekitar halaman rumah mereka. Karena suaminya tak ditemukan Nyai Rangkaspun pulang kembali ke rumah. Awalnya ia berpikir kalau suaminya hanya pergi sebentar ke hutan untuk mencari makanan atau berburu. Hari demi hari berlalu, sang suami yang dinanti tak jua datang sementara perut Nyai Rangkas semakin membesar dan harapan berkumpul kembali dengan sang suami tercinta sirna, dan perlahan-lahan merasa kesepian dan kehilangan suaminya Nyai Rangkas memutuskan untuk pergi ke hutan untuk mencari suaminya.
Ketika matahari terbit Nyai Rangkas pun berangkat kehutan untuk mencari suaminya dengan membawa bekal seadanya ia bertekad tidak akan pulang tanpa suaminya. Dalam perjalanan menyusuri hutan ia melewati rawa-rawa tempat suaminya tewas diterkam serigala. Saat ia melihat keatas tiba-tiba ada seekor burung hitam menjatuhkan kotorannya iapun merasa kejadian itu pertanda bahwa hal buruk telah terjadi dan seketika pula perasaannya Nyari Rangkas jalan dan tanpa sengaja kakinya tersandung kayu sehingga ia pun terjatuh, dan tanpa sengaja pula tangan Nyai Rangkas tertuju pada sebuah gelang dari batu yang tergeletak di atas tanah, dimana di sekitar gelang tersebut juga terdapat tulang-tulang bangkai manusia. Melihat gelang tersebut Nyai Rangkas berkata dalam hati “Gelang ini adalah milik suamiku, oh dewa apakah yang terjadi pada suamiku” dan kemudian ia berteriak kencang memanggil-manggil suaminya” sekarang …. Suamiku … dimana kamu sekarang !!! karena tak kuasa menahan rasa sedih tubuh Nyai Rangkas gemetar kemudian pingsan.
Tidak tahu datang dari arah mana tiba-tiba datang seorang nenek menghampiri dan membawa Nyai Rangkas ke sebuah Gua. Yang mana gua tersebut tak jauh dari tempat Nyai Rangkas bertapa untuk memohon diberikan seorang anak. Saat sadar Nyai Rangkas merasa heran dan ia tidak tahu dirinya berada dimana. Lalu ia duduk, sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tiba-tiba datang seorang nenek tua membawa segelas air untuk Nyai Rangkas seraya mengatakan “sebaliknya Nyai minum air ini dulu agar badan Nyai lebih segar, dan Nyai jangan teralu banyak bergerak karena badan Nyai masih lemah” Nyai Rangkas pun menjawab “Tapi saya sekarang ada dimana ne dan siap nenek sebenarnya ? dari mana nenek mengetahui nama saya” nenek tua itupun menjawab “nenek ditugaskan oleh dewa angin untuk menjaga Nyai dan anak yang ada dalam kandungan Nyai.”
Nyai rangkas masih bingung dengan kejadian-kejadian yang menimpanya sesaat ia tercengang dan teringat akan suaminya, ia merasa menyesal telah meninggalkan suaminya waktu itu. saat Nyai Rangkas merenungi nasibnya, nenek tua itu datang kembali menghampirinya membawa makanan untuk Nyai Rangkas. Kemudian nenek itu mengatakan “sudahlah Nyai, jangan terlalu sedih kau memikirkan kepergian suamimu, karena itu sudah menjadi takdirnya” Nyai Rangkas menjawab “Tapi ne saya sangat mencintainya! Saya tak mampu hidup tanpanya. “Nenek tua itu menjawab lagi “nenek mengerti dengan perasaan nyai! Tapi yang harus Nyai lakukan sekarang adalah memikirkan keadaan anak yang ada dalam kandungan Nyai”……..
Hari terus berganti, Nyai Rangkas terus menjalani hidupnya di gua bersama nenek tua yang diutus oleh dewa angin untuk menjaga ia dan bayinya. Hingga akhirnya Nyai Rangkas melahirkan seorang anak laki-laki yang mana anak tersebut ia beri nama Mandangin. Bersama nenek tua itu Nyai rangkas merawat dan menjaga Mandangin hingga Mandangin tumbuh menjadi seorang anak yang tampan dan baik hati.
Seiring dengan berjalannya waktu Mandangin tumbuh dewasa. Ia tampan, kuat, dan baik hati serta suka menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, selain itu ia juga sangat berbakti kepada ibunya. Meski memiliki banyak kelebihan mandangin tidak pernah menyombongkan diri dan ia juga tidak pernah mengeluh tidak pernah dalam keadaan serba kekurangan dan tanpa seorang ayah.
Sampai pada suatu hari ketika ia berburu di hutan ia melihat ada sebuah batu besar dan ia merasakan melepas rasa penasarannya mandangin naik keatas batu besar itu. tiba-tiba ia mendengar suara seruan yang ia pun tak tahu suara tersebut datang darimana “Mandangin jika kau ingin mendapatkan kekuatan dan kesaktian, lakukanlah pertapaan di atas batu itu selama satu purnama”, Seketika suara itu menghilang, Mandangin tercengang sesaat kemudian ia pergi meninggalkan batu besar itu dan pulang kembali ke gua dengan membawa hasil buruannya.
Namun sepulangnya dari batu besar itu mandangin tidak berbicara satu katapun kepada ibunya. Wajah dan perilakunya tampak seperti orang kebingungan. Melihat kelakuan Mandangin yang tidak sama seperti hari-hari biasanya Nyai Rangkas mengampiri Mandangin dan bertanya “ada apakah gerangan yang terjadi denganmu anakku ? sepertinya kamu sedang bingung”.
Mendengar pertanyaan ibunya Mandanginpun menceritakan tentang kejadian yang ia alami saat pergi berburu. Mendengar cerita anaknya Nyai Rangkas terdiam. Ia bertanya dalam hati “apakah suara itu adalah suara dewa angin”. Tapi ia mencoba mengalihkan perhatian anaknya dengan mengatakan “mungkin itu hanya halusinasimu saja anakku” Mandangin menjawab mungkin juga ibu”! ia mengiyakan perkataan ibunya meski ia merasa yakin kejadian itu nyata.
Malam semakin larut dan ke adaan sunyi senyap Nyai Rangkas tak bisa tidur karena ia terus memikirkan tentang cerita anaknya. Melihat Nyai Rangkas tidak bisa tidur nenek Kiap menghampirinya dan bertanya “apakah gerangan yang kau pikirkan Nyai ? sampai-sampai kau tak bisa tidur” mendengar pertanyaan nenek Kiap Nyai Rangkas langsung menceritakan kejadian yang dialami oleh Mandangin ketika pergi berburu.
Mendengar cerita itu nenek Kiap berkata kepada Nyai Rangkas “Nyai mungkin sekarang sudah waktunya Nyai membiarkan Mandangin untuk pergi mengembara dan menjalankan takdirnya sebagai pembela kebenaran”. Kemudian Nyai Rangkas bertanya pada nenek Kiap. “Lalu apa yang harus saya lakukan untuk Mandangin Ne” nenek Kiap menjawab “Besok pagi kau siapkan bekal untuk Mandangin dan kau suruh dia pergi mengembara untuk menegakkan kebenaran. Namun sebelum pergi suruh dia bertapa terlebih dahulu selama satu purnama di batu besar seperti yang telah diserukan oleh dewa angin kepadanya.
Malam berganti pagi Nyai Rangkas sibuk menyiapkan bekal untuk Mandangin pergi mengembara. Ketik matahari naik dari ufuk timur Nyai Rangkas menghampiri Mandangin yang baru saja selesai makan. Ia berkata “wahai anakku sekarang kau sudah menjalankan takdirmu. Namun sebelu kau pergi mengembara kau pergi lakukanlah ritual pertapaan seperti yang telah diserukan oleh dewa angin kepadamu agar kamu mendapatkan kesaktian sebagai bekal melindungi diri dan membela kebenaran”. Mandangin menjawab “Tapi bagaimana dengan ibu? Saya tidak tega meninggalkan ibu di sini!”. Mendengar pertanyaan anaknya dengan berat hati Nyai Rangkas mengatakan” sudahlah anakku, jangan kau pikirkan keadaan ibu suatu saat kau pasti akan bertemu lagi dengan ibu”!.
Dengan berat hati pagi itu Nyai Rangkas melepaskan kepergian anaknya tercinta dan mandangin pun pergi meninggalkan gua yang menjadi tempat berteduh selama dalam asuhan ibunya. Dalam perjalanannya menyusuri hutan menuju tempat pertapan tanpa sengaja ia melihat seorang perempuan cantik turun mandi di sungai Mandahan. Walaupun demikian Mandangin tetap berjalan menuju tempat pertapaan setibanya di atas batu besar ia langsung melakukan pertapaan. Hari demi hari berlalu hingga satu purnama pun terlewati. Ketika ritual pertapaan selesai tiba-tiba terdengar suara petir seolah-olah memecah bumi kemudian diiringi dengan angin yang bertiup sangat kencang dan dahsyat pertanda kesaktian telah diperoleh Mandangin.
Sebelum Mandangin meninggalkan pertapaan terdengar suara seruan “Hai Mandangin hari ini telah aku turunkan kesaktianku padamu, gunakanlah kesaktian itu untuk membela kebenaran”. Sesaat setelah suara seruan hilang Mandangin pergi dan meninggalkan tempat pertapan dan memulai perjalanannya untuk mengembara. Ia terus berjalan menyusuri hutan tepi sungai Mandahan hingga akhirnya ia masuk ke sebuah kampung yang bernama Perek Rango. Kampung itu dikuasai oleh seorang penguasa yang bernama Tuman ia sangat jahat dan kejam serta suka menindas lain.
Di kampung itu tidak ada lagi kedamaian semua penduduk tampak ketakutan ketika melihat Tuman dan gerombolannya. Meski demikian Mandangin tetap berjalan menyusri kampung untuk mencari tempat peristirahatan. Ketika sedang duduk melepas lelah di sebuah pondok kecil, tiba-tiba mandangin melihat seorang gadis berjalan melintasi di hadapannya. Yang mana perempuan itu adalah istri dari Tuman sang penguasa yang kejam. Sesat Mandangin tercengang dan merasa wajah perempuan itu tak asing lagi. Dan ternyata perempuan itu adalah orang yang ia lihat turun mandi di Sungai Mandahan ketika ia hendak pergi bertapa……
Angin bertiup sepoi-sepoi udara menjadi semakin sejuk menambah kenikmatan suasana pada sore itu. belum puas melihat suasana tiba-tiba datang gerombolan Tuman yang tampak beringas dan kejam dengan menyeret beberapa warga dan menggotong tiga orang perempuan desa.
Meski sampbil teriak mereka tampak tak berdaya melawan kekuasaan gerombolan tersebut. Melihat keadaan itu Mandangin langsung berdiri dan menghampiri gerombolan itu seraya mengatakan “salah seorang dari gerombolan itu menjawab “Siapa kamu berani-beraninya kamu menantang kami”! Mandangin menjawab “aku adalah Mandangin dan aku tidak suka melihat ketidakadilan”.
Mendengar perkataan Mandangin para gerombolan itu marah dan menghadang Mandangin dengan mandau. Namun Mandangin tidak takut meski ia punya senjata hingga akhirnya perkelahianpun terjadi. Mandangin menghantam gerombolan itu dengan jurus-jurusnya hingga sebagian jatuh terkapar dan terluka karena merasa tak mampu melawan mandangin gerombolan itu pergi dan melaporkan kejadian itu kepada penguasa kampung yaitu si Tuman.
Mendengar cerita itu Tuman marah dan mengambil senjata pusakanya kemudian mencari Mandangin yang berani menantang kekuasaannya dengan diikuti oleh beberapa gerombolannya. Sampai akhirnya ia menemukan Mandangin di sebuah rumah makan.
Tanpa basa-basi Tuman langsung menghadang Mandangin dengan senjata pusakanya. Namun Mandangin tidak menanggapinya hingga akhirnya Tuman memukulnya dan iapun menghela untuk membela diri. Dengan beringas Tuman terus memukul Mandangin. Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan Toman Mandangin melakukan perlawanan dan perkalahian terjadi dengan sangat sengit.
Mereka saling adu kekuatan sihir hingga akhirnya Tuman kehabisan energi karena terkena pukulan maut Mandangin. Ketika Tuman tak berdaya tiba-tiba datang seorang perempuan menikamnya dari belakang dengan menggunakan sebuah belati. Dan ternyata perempuan itu adalah korban keserakahan dan nafsu birahi Tuman. Saat melihat wajah perempuan itu Mandangin teringat kembali dengan perempuan yang ia lihat turun mandi di Sungai Mandahan. Namun ia tetap tak menyapanya. Ia hanya mampu memandang dari kejauhan.
Melihat Tuman sudah mati masyarakat beramai-ramai menghampiri Mandangin, mereka mengucapkan terimakasih karena Mandangin mampu mengalahkan Toman dan membebaskan mereka dari cengkraman dan kekuasaan sebagai ucapan terimakasih masyarakat bersepakat mengangkat Mandangin untuk menjadi pemimpin dan pelindung mereka dari kejahatan.
Karena sebagian besar masyarakat penghuni wilayah Perek Ranggo memintanya memintanya memimpin daerah itu maka Mandangin tak mampu menolaknya hingga akhirnya ia menjadi pemimpin wilayah Perek Rango yang arif dan bijaksana sesuai dengan harapan ibunya tercinta.
Semenjak dipimpin oleh Mandangin daerah Perek Rango menjadi daerah yang aman dan penuh kedamaian yang semua itu dapat dilihat dari wajah-wajah penduduk yang memancarkan keceriaan dan kebahagiaan.
Setiap hari Mandangin selalu teringat dengan wajah perempuan cantik yang ia lihat turun mandi di Sungai Mandahan. Untuk menghapus rasa penasarannya terhadap perempuan itu ia datang ke rumah perempuan itu dan mengambil perempuan itu untuk menjadi isterinya. Karena Mandangin, adalah seorang pria yang tampan dan bijaksana sehingga tak ada perempuan yang mampu menolak lamarannya.
Akhirnya Mandangin dan perempuan itu menikah dan membina rumah tangga yang bahagia bersama keturunannya.
Daerah Perek Rango selalu dikuasai oleh keturunan Mandangin secara turun temurun dan daerah itu selalu dalam keadaan damai hingga sekarang.
Konon katanya jika kita ingin melihat daerah itu harus melakukan pertapaan di sebuah batu besar tempat pertapaan Nyai Rangkas dan Mandangin.***
Isen Mulang Petehku

Kamis, 23 Desember 2010

Cindua Mato

Cerita dari Sumatera Barat
sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=944647&page=5
Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Bundo Kanduang, yang konon diciptakan bersamaan dengan alam semesta ini (samo tajadi jo alamko). Dia adalah timpalan Raja Rum, Raja Tiongkok dan Raja dari Laut. Suatu hari Bundo Kanduang menyuruh Kembang Bendahari, seorang dayangnya yang setia, untuk membangunkan putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur di anjungan istana. Kembang Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah Raja Alam, orang yang sakti. Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri Dang Tuanku, dan berkata bahwa Bendahara sedang mengadakan gelanggang di nagarinya Sungai Tarab, untuk memilih suami buat putrinya. Karena gelanggang tersebut akan dikunjungi banyak pangeran, marah dan sutan, dan putra-putra orang-orang terpandang, Dang Tuanku dan Cindua Mato seharusnya ikut serta di dalamnya. Bundo Kanduang memerintahkan Dang Tuanku untuk menanyakan apakah Bendahara akan menerima Cindua Mato sebagai suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah menerima pengajaran tentang adat Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan para pengiringnya berangkat ke Sungai Tarab.

Di Sungai Tarab mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku bertanya apakah Bendahara bersedia menerima Cindua Mato yang “bodoh dan miskin” sebagai menantunya. Sebenarnya Cindua Mato adalah calon menantu ideal, dan karena itu lamaran tersebut diterima. Dang Tuanku kemudian berbincang-bincang dengan Bendahara, yang merupakan ahli adat di dalam Basa Ampek Balai, membahas adat Minangkabau dan apakah telah terjadi perubahan dari adat nenek moyang. Menurut Bendahara prinsip-prinsip yang diwariskan dari perumus adat Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang tetap tak berubah.
Sementara itu Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, Raja Sungai Ngiang, sebuah negeri di rantau timur Minangkabau. Menurut kabar itu, di sana tersebar berita bahwa Dang Tuanku diasingkan karena menderita penyakit. Puti Bungsu adalah putri Rajo Mudo, saudara Bundo Kanduang, yang memerintah sebagai wakil Pagaruyung di Ranah Sikalawi, tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan bahwa cerita ini disebarkan oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas mendesak Dang Tuanku untuk meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke Pagaruyung. Gunjingan seperti itu adalah hinaan kepada Raja Alam.
Di Pagaruyung Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo Kanduang apa yang didengarnya di pasar. Bundo Kanduang naik pitam, namun sebelum bertindak dia mesti berunding dulu dengan Basa Ampek Balai. Dalam rapat-rapat berikutnya para menteri tersebut berusaha menengahi Bundo Kanduang pada satu pihak, yang tak dapat menerima hinaan dari saudaranya, dan Dang Tuanku beserta Cindua Mato pada pihak lain, yang menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut berakhir dengan kesepakatan bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan Bundo Kanduang dan Dang Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa Sibinuang, seekor kerbau sakti, sebagai mas kimpoi untuk Puti Bungsu.
Dengan menunggang kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau sakti, Si Binuang, Cindua Mato berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di perbatasan sebelah timur, di dekat Bukit Tambun Tulang, dia menemukan tengkorak-tengkorak berserakan. Setelah membacakan jampi-jampi, dan berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak tersebut mampu menceritakan kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para pedagang yang bepergian melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para penyamun. Mereka mendesak Cindua Mato untuk berbalik dan kembali, namun Cindua Mato menolak. Tak lama sesudahnya para penyamun menyerang, namun dengan bantuan Si Binuang, ia berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun tersebut mengaku bahwa Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, mempekerjakan mereka tak hanya buat memperkaya dirinya, tetapi juga untuk memutus hubungan antara Pagaruyung dan Rantau Timur, dan dengan demikian melempangkan rencananya untuk mengawini Puti Bungsu.
Kedatangan Cindua Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang berduka mendengar kabar penyakit Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato dianggap sebagai pertanda restu Bundo Kanduang atas perkimpoian yang hendak dilangsungkan.
Dengan berpura-pura kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat mata dengan Puti Bungsu tanpa memancing kecurigaan keluarga Rajo Mudo. Mereka percaya hanya Puti Bungsu saja yang mampu menenangkannya. Cindua Mato bertutur pada Puti Bungsu bahwa Dang Tuanku mengirimnya untuk membawanya ke Pagaruyung, karena ia sudah ditakdirkan untuk menikah dengan Dang Tuanku. Dalam pesta perkimpoian yang berlangsung, saat Imbang Jayo tengah berperan sebagai pengantin pria, Cindua Mato melakukan hal-hal ajaib yang menarik perhatian lain dan menculik Puti Bungsu. Cindua Mato membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi, anggota Basa Ampek Balai yang mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.
Dengan menculik Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum dan melampaui wewenangnya sebagai utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu memanggil anggota Basa Ampek Balai lainnya untuk membahas pelanggaran yang dilakukan Cindua Mato. Namun pada pertemuan yang diadakan Cindua Mato menolak menjelaskan perbuatannya.
Basa Ampek Balai lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang, yang murka pada kelakuan Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak menjawab. Keempat menteri ini lalu memutuskan berunding dengan Raja Nan Duo Selo, Raja Adat dan Raja Ibadat. Keduanya, mengetahui latar belakang kejadian tersebut, sambil tersenyum menyuruh keempat menteri tersebut menyerahkan keputusan kepada Dang Tuanku, Raja Alam.
Pada pertemuan berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang, yang berteguh mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang menganjurkan memeriksa alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang Jayo telah menghina Dang Tuanku dengan berusaha mengawini tunangannya, dan menceritakan fitnah. Sekarang giliran Imbang Jayo buat dihina. Imbang Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk memperkaya dirinya dan memutus hubungan antara Minangkabau dan rantau timurnya. Cindua Mato tak layak dihukum karena dia hanya alat untuk utang malu dibayar malu.
Cindua Mato dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian membahas perkimpoian antara Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara Dang Tuanku dan Puti Bungsu. Setelah masa persiapan, perkimpoian kerajaan tersebut dilangsungkan di Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta yang dihadiri oleh banyak pangeran dan raja dari segenap penjuru Pulau Perca.
Sementara itu, Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua Mato bersiap-siap menyerang Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin Terus (camin taruih), dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung. Cermin itu akhirnya dipecahkan oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika Imbang Jayo sibuk memperkuat pasukannya Bundo Kanduang dan Dang Tuanku meminta Cindua Mato mengungsi ke Inderapura, negeri di rantau Barat, dan dengan demikian tidak ada alasan lagi buat Imbang Jayo memerangi Pagaruyung.
Geram karena gagal membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes pada Rajo Nan Duo Selo. Pada pertemuan yang dipimpin oleh kedua raja tersebut, dan dihadiri oleh keempat menteri, Imbang Jayo mendakwa bahwa seorang anggota keluarga kerajaan telah mempermalukan dirinya, sebuah pelanggaran yang tak termaafkan. Namun raja-raja tersebut bertanya: siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa bukti dakwaan Imbang Jayo? Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup bukan soal main-main. Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo dihukum mati.
Begitu mengetahui anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo, ayah Imbang Jayo, Tiang Bungkuak, bersiap-siap membalas dendam. Cindua Mato kembali dari Inderapura, dan Dang Tuanku memerintahkannya melawan Tiang Bungkuak. Namun bila Cindua Mato gagal membunuhnya, dia harus bersedia menjadi hamba Tiang Bungkuak, agar Istana Pagaruyung terlepas dari ancaman.
Pada suatu malam, saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang Tuanku bermimpi bertemu seorang malaikat dari langit yang berkata dia, Bundo Kanduang dan Puti Bungsu sudah waktunya meninggalkan dunia yang penuh dosa ini. Pagi harinya Dang Tuanku mengisahkan mimpinya pada Bundo Kanduang dan Basa Ampek Balai. Mengetahui waktu mereka sudah dekat, mereka mengangkat Cindua Mato sebagai Raja Muda.
Cindua Mato menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun dalam duel yang berlangsung dia tak mampu membunuh Tiang Bungkuak. Cindua Mato lalu menyerah pada kesatria tua itu, dan mengikutinya ke Sungai Ngiang sebagai budak. Pada saat yang sama sebuah kapal terlihat melayang di udara membawa Dang Tuanku dan anggota keluarga kerajaan lainnya ke langit.
Suatu hari, ketika Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua Mato membaca jampi-jampi dan berhasil mengungkap rahasia kekebalan Tiang Bungkuak dari mulutnya sendiri. Ternyata Tiang Bungkuak hanya dapat dibunuh menggunakan keris bungkuk (karih bungkuak) yang disembunyikan di bawah tiang utama rumahnya. Cindua Mato mencuri keris itu lalu memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya. Dalam duel tersebut Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dengan keris curiannya.
Setelah kematian Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang mengangkat Cindua Mato menjadi raja. Kemudian dia juga diangkat sebagai raja Sikalawi, setelah Rajo Mudo turun tahta. Cindua Mato menikahi adik Puti Bungsu, Puti Reno Bulan. Dari hasil pernikahannya ini Cindua Mato memperoleh anak perempuan dan laki-laki yang diberi nama Sutan Lembang Alam.
Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua Mato kembali ke Pagaruyung, untuk memerintah sebagai Raja Minangkabau. Dari perkimpoiannya dengan Puti Lenggo Geni ia mendapatkan anak bernama Sutan Lenggang Alam.
Courtesy : Desna

Burung Bangau Dengan Seekor Ketam

Pada zaman dahulu terdapat sebuah tasik yang sangat indah. Airnya sungguh jernih dan di dalamnya ditumbuhi oleh pokok-pokok teratai yang berbunga sepanjang masa. Suasana di sekitar tasik tersebut sungguh indah. Pokok-pokok yang tumbuh di sekitarnya hidup dengan subur. Banyak burung yang tinggal di kawasan sekitar tasik tersebut. Salah seekornya adalah burung bangau. Manakala di dalam tasih hidup bermacam-macam ikan dan haiwan lain. Ada ikan telapia sepat, kelah, keli, haruan dan bermacam-macam ikan lagi. Selain daripada ikan,terdapat juga ketam dan katak yang turut menghuni tasih tersebut.
Burung bangau sangat suka tinggal di kawasan tasik tersebut kerana ia senang mencari makan. Ikan-ikan kecil di tasik tersebut sangat jinak dan mudah ditangkap. Setiap hari burung bangau sentiasa menunggu di tepi tasik untuk menagkap ikan yang datang berhampiran dengannya.
Beberapa tahun kemudian burung bangau semakin tua. Ia tidak lagi sekuat dulu untuk menangkap ikan. Kadang- kadang ia tidak memperolehi ikan untuk dimakan menyebabkan ia berlapar seharian. Ia berfikir di dalam hatinya seraya berkata "Kalau beginilah keadaanya, aku akan mati kelaparan kerana tidak lagi berdaya untuk menangkap ikan. Aku mesti mencari jalan supaya aku dapat memperolehi makanan dengan mudah".
Burung bangau mendapat idea dan berpura-pura duduk termenung dengan perasan sedih di tebing tasik. Seekor katak yang kebetulan berada di situ ternampak bangau yang sangat murung dan sedih lalu bertanya "Kenapakah aku lihat akhir-akhir ini kamu asik termenung dan bersedih sahaja wahai bangau?". Bangau menjawab " Aku sedang memikirkan keadaan nasib kita dan semua penghuni tasih ini." "Apa yang merunsingkan kamu, sedangkan kita hidup di sini sudah sekian lama tidak menghadapi sebarang masalah." Jawab katak. "Awak manalah tahu, aku sering terbang ke sana ke mari dan mendengar manusia sedang berbincang tentang bencana kemarau yang akan menimpa kawasan ini dalam beberapa bulan lagi. Kau lihat sajalah sejak akhir-akhir ini hari panas semacam aje, hujan pun sudah lama tidak turun". Bangau menyambung lagi "Aku khuatir tasik ini akan kering dan semua penghuni di tasik ini akan mati." Katak mengangguk- ngangukkan kepalanya sebagai tanda bersetuju dengan hujah bangau tadi. Tanpa membuang masa katak terus melompat ke dalam tasik untuk memaklumkan kepada kawan-kawan yang lain.
Berita bencana kemarau telah tersebar ke seluruh tasih begitu cepat dan semua penghuni tasik berkumpul ditebing sungai dimana bangau berada. Masing-masing riuh rendah menanyakan bangau akan berita tersebut. Seekor ikan haruan bertanya kepada bangau "Apakah cadangan engkau untuk membantu kami semua?" Burung bangau berkata "Aku ada satu cadangan, tetapi aku khuatir kamu semua tidak bersetuju." "Apakah cadangan tersebut" kata haruan seolah-olah tidak sabar lagi mendengarnya. Bangau berkata " Tidak jauh dari sini ada sebuah tasik yang besar dan airnya dalam, aku percaya tasik tersebut tidak akan kering walaupun berlaku kemarau yang panjang." "Bolehkah engkau membawa kami ke sana" sampuk ketam yang berada di situ. "Aku boleh membawa kamu seekor demi seekor kerana aku sudah tua dan tidak berdaya membawa kamu lebih daripada itu" kata burung bangau lagi.. Mereka pun bersetuju dengan cadangan burung bangau.
Burung bangau mula mengangkut seekor demi seekor ikan daripada tasik tersebut, tetapi ikan- ikan tersebut tidak dipindahkan ke tasik yang dikatakannya.Malahan ia membawa ikan-ikan tersebut ke batu besar yang berhampiran dengan tasik dan dimakannya dengan lahap sekali kerana ia sudah tidak makan selama beberapa hari. Setelah ikan yang dibawanya dimakan habis, ia terbang lagi untuk mengangkut ikan yang lain. Begitulah perbuatanya sehingga sampai kepada giliran ketam. Oleh kerana ketam mempunyai sepit ia hanya bergantung  pada leher burung bangau dengan menggunakan sepitnya. Apabila hampir sampai ke kawasan batu besar tersebut,ketam  memandang ke bawah dan melihat tulang-tulang ikan bersepah di atas batu besar. Melihat keadaan tersebut ketam berasa cemas dan berfikir di dalam hatinya "Matilah aku kali ini dimakan oleh bangau." Lalu ia memikirkan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya daripada ratahan bangau yang rakus.  Setelah tiba di atas batu besar ketam masih lagi berpegang pada leher bangau sambil berkata "Dimanakah tasik yang engkau katakan itu dan kenapa engakau membawa aku di sini?" Bangau pun tergelak dengan terbahak-bahak lalu berkata "Kali ini telah tiba masanya engkau menjadi rezeki aku." Dengan perasaan marah ketam menyepit leher bangau dengan lebih kuat lagi menyebabkan bangau sukar untuk bernafas, sambil merayu minta di lepaskan, ia berjanji akan menghantar ketam kembali ke tasik tersebut. Ketam tidak mempedulikan rayuan bangau malah ia menyepit lebih kuat lagi sehingga leher bangau terputus dua dan bangau mati di situ jua.
Dengan perasaan gembira kerana terselamat daripada menjadi makanan bangau ia bergerak perlahan-lahan menuju ke tasik sambil membawa kepala bangau.  Apabila tiba di tasik, kawan-kawannya masih lagi setia menunggu giliran masing-masing.  Setelah melihat ketam sudah kembali dengan membawa kepala bangau mereka kehairanan dan ketam menceritakan kisah yang berlaku. Semua binatang di tasik tersebut berasa gembira kerana mereka terselamat daripada menjadi makanan burung bangau yang tamak dan mementingkan diri sendiri. Mereka mengucakpan terima kasih kepada ketam kerana telah menyelamatkan mereka semua.
 

Seruling Sakti

Pada zaman dahulu terdapat sebuah pekan kecil yang sangat cantik terletak di kaki bukit. Pekan tersebut di kenali Hamelyn. Penduduk di pekan tersebut hidup dengan aman damai, tetapi sikap mereka tidak perihatin terhadap kebersihan. Pekan tersebut penuh dengan sampah sarap. Mereka membuang sampah di merata-rata menyebabkan pekan tersebut menjadi tempat pembiakan tikus. Semakin hari semakin banyak tikus membiak menyebabkan pekan tersebut dipebuhi oleh tikus-tikus.
Tikus-tikus berkeliaran dengan banyaknya dipekan tersebut. Setiap rumah tikus-tikus bergerak bebas tanpa perasaan takut kepada manusia. Penduduk di pekan ini cuba membela kucing untuk menghalau tikus dan ada diantara mereka memasang perangkap tetapi tidak berkesan kerana tikus terlampau banyak. Mereka sungguh susah hati dan mati akal bagaimana untuk menghapuskan tikus-tikus tersebut.
Musibah yang menimpa pekan tersebut telah tersebar luas ke pekan-pekan lain sehinggalah pada suatu hari seorang pemuda yang tidak dikenali datang ke pekan tersebut dan menawarkan khidmatnya untuk menghalau semua tikus dengan syarat penduduk pekan tersebut membayar upah atas kadar dua keping wang mas setiap orang. Penduduk di pekan tersebut berbincang sesama mereka diatas tawaran pemuda tadi. Ada diatara mereka tidak bersetuju oleh kerana mereka tidak sanggup untuk membayar upah yang sangat mahal. Setelah berbincang dengan panjang lebar akhirnya mereka bersetuju untuk membayar upah seperti yang diminta oleh pemuda itu kerana mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Keputusan tersebut dimaklumkan kepada pemuda tadi, lalu dia mengeluarkan seruling sakti dan meniupnya. Bunyi yang keluar dari seruling itu sangat merdu dan mengasik sesiapa yang mendengarnya. Tikus-tikus yang berada dimerata tempat didalam pekan tersebut mula keluar dan berkumpul mengelilinginya. Pemuda tadi berjalan perlahan-lahan sambil meniup seruling sakti dan menuju ke sebatang sungai yang jauh dari pekan tersebut. Apabila sampai ditepi sungai pemuda tadi terus masuk kedalamnya dan diikuti oleh semua tikus.Tikus-tikus tadi tidak dapat berenang didalam sungai dan semuanya mati lemas.
Kini pekan Hamelyn telah bebas daripada serangan tikus dan penduduk bersorak dengan gembiranya. Apabila pemuda tadi menuntut janjinya, penduduk tersebut enggan membayar upah yang telah dijanjikan kerana mereka mengangap kerja yang dibuat oleh pemuda tadi tidak sepadan dengan upah yang diminta kerana hanya dengan meniupkan seruling sahaja. Pemuda tadi sangat marah lalu dia menuipkan seruling saktinya sekali lagi. Irama yang keluar dari seruling itu sangat memikat hati kanak-kanak menyebabkan semua kanak-kanak berkumpul di sekelilingnya. Satelah semua kanak-kanak berkumpul pemuda tadi berjalan sambil meniupkan seruling dan diikuti oleh semua kanak-kanak. Pemuda itu membawa kanak-kanak tersebut keluar dari pekan Hamelyn. Setelah Ibu Bapa menyedari bahawa mereka akan kehilangan anak-anak, mereka mulai merasa cemas kerana kanak-kanak telah meninggalkan mereka dan mengikuti pemuda tadi. Mereka mengejar pemuda tadi dan merayu supaya menghentikan daripada meniup seruling dan memulangkan kembali anak-anak mereka. Merka sanggup memberi semua harta benda yamg ada asalkan pemuda tersebut mengembalikan anak-anak mereka.
Rayuan penduduk tidak diendahkan oleh pemuda tadi lalu mereka membawa kanak-kanak tersebut menuju kesuatu tempat dan apabila mereka sampai disitu muncul sebuah gua dengan tiba-tiba. Pemuda tadi mesuk ke dalam gua itu dan diikuti oleh kanak-kanak. Setelah semuanya masuk tiba-tiba gua tersebut gaib dan hilang daripada pandangan penduduk pekan tersebut. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa oleh kerana mereka telah memungkiri janji yang mereka buat. Merka menyesal diatas perbuatan mereka tetapi sudah terlambat. Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tidak berguna.
Sehingga hari ini penduduk pekan Hamelyn tidak melupakan kesilapan yang dilalukan oleh nenek moyang mereka. Menepati janji adalah pegangan yang kuat diamalkan oleh penduduk pekan Hamelyn sehingga hari ini.

Sang Kancil Dengan Buaya

Pada zaman dahulu Sang Kancil adalah merupakan binatang yang paling cerdik di dalam hutan. Banyak binatang-binatang di dalam hutan datang kepadanya untuk meminta pertolongan apabila mereka menghadapi masalah. Walaupun ia menjadi tempat tumpuan binatang- binatang di dalam hutan, tetapi ia tidak menunjukkan sikap yang sombong malah sedia membantu pada bila-bila masa saja.
Suatu hari Sang Kancil berjalan-jalan di dalam hutan untuk mencari makanan. Oleh kerana makanan di sekitar kawasan kediaman telah berkurangan Sang Kancil bercadang untuk mencari di luar kawasan kediamannya. Cuaca pada hari tersebut sangat panas, menyebabkan Sang Kancil berasa dahaga kerana terlalu lama berjalan, lalu ia berusaha mencari sungai yang berdekatan. Setelah meredah hutan akhirnya kancil berjumpa dengan sebatang sungai yang sangat jernih airnya. Tanpa membuang masa Sang Kancil terus minum dengan sepuas-puasnya. Kedinginan air sungai tersebut telah menghilangkan rasa dahaga Sang Kancil.
Kancil terus berjalan-jalan menyusuri tebing sungai, apabila terasa penat ia berehat sebentar di bawah pohon beringin yang sangat rendang di sekitar kawasan tersebut. Kancil berkata didalam hatinya "Aku mesti bersabar jika ingin mendapat makanan yang lazat-lazat". Setelah kepenatannya hilang, Sang Kancil menyusuri tebing sungai tersebut sambil memakan dedaun kegemarannya yang terdapat disekitarnya. Apabila tiba di satu kawasan yang agak lapang, Sang Kancil terpandang kebun buah-buahan yang sedang masak ranum di seberang sungai."Alangkah enaknya jika aku dapat menyeberangi sungai ini dan dapat menikmati buah-buahan tersebut" fikir Sang Kancil.
Sang Kancil terus berfikir mencari akal bagaimana untuk menyeberangi sungai yang sangat dalam lagi deras arusnya. Tiba-tiba Sang Kacil terpandang Sang Buaya yang sedang asyik berjemur di tebing sungai. Sudah menjadi kebiasaan buaya apabila hari panas ia suka berjemur untuk mendapat cahaya matahari.Tanpa berlengah-lengah lagi kancil terus menghampiri buaya yang sedang berjemur lalu berkata " Hai sabahatku Sang Buaya, apa khabar kamu pada hari ini?" buaya yang sedang asyik menikmati cahaya matahari terus membuka mata dan didapati sang kancil yang menegurnya tadi "Khabar baik sahabatku Sang Kancil" sambung buaya lagi "Apakah yang menyebabkan kamu datang ke mari?" jawab Sang Kancil "Aku membawa khabar gembira untuk kamu" mendengar kata-kata Sang Kacil, Sang Buaya tidak sabar lagi ingin mendengar khabar yang dibawa oleh Sang Kancil lalu berkata "Ceritakan kepada ku apakah yang engkau hendak sampaikan".
Kancil berkata "Aku diperintahkan oleh Raja Sulaiman supaya menghitung jumlah buaya yang terdapat di dalam sungai ini kerana Raja Sulaiman ingin memberi hadiah kepada kamu semua". Mendengar saja nama Raja Sulaiman sudah menggerunkan semua binatang kerana Nabi Sulaiman telah diberi kebesaran oleh Allah untuk memerintah semua makhluk di muka bumi ini. "Baiklah, kamu tunggu di sini, aku akan turun kedasar sungai untuk memanggil semua kawan aku" kata Sang Buaya. Sementara itu Sang Kancil sudah berangan-angan untuk menikmati buah-buahan. Tidak lama kemudian semua buaya yang berada di dasar sungai berkumpul di tebing sungai. Sang Kancil berkata "Hai buaya sekelian, aku telah diperintahkan oleh Nabi Saulaiman supaya menghitung jumlah kamu semua kerana Nabi Sulaiman akan memberi hadiah yang istimewa pada hari ini". Kata kancil lagi "Beraturlah kamu merentasi sungai bermula daripada tebing sebelah sini sehingga ke tebing sebelah sana".
Oleh kerana perintah tersebut adalah datangnya daripada Nabi Sulaiman semua buaya segera beratur tanpa membantah. Kata Buaya tadi "Sekarang hitunglah, kami sudah bersedia" Sang Kancil mengambil sepotong kayu yang berada di situ lalu melompat ke atas buaya yang pertama di tepi sungai dan ia mula menghitung dengan menyebut "Satu dua tiga lekuk, jantan betina aku ketuk" sambil mengetuk kepala buaya begitulah sehingga kancil berjaya menyeberangi sungai. Apabila sampai ditebing sana kancil terus melompat ke atas tebing sungai sambil bersorak kegembiraan dan berkata" Hai buaya-buaya sekalian, tahukah kamu bahawa aku telah menipu kamu semua dan tidak ada hadiah yang akan diberikan oleh Nabi Sulaiman".
Mendengar kata-kata Sang Kancil semua buaya berasa marah dan malu kerana mereka telah di tipu oleh kancil. Mereka bersumpah dan tidak akan melepaskan Sang Kancil apabila bertemu pada masa akan datang. Dendam buaya tersebut terus membara sehingga hari ini. Sementara itu Sang Kancil terus melompat kegembiraan dan terus meniggalkan buaya-buaya tersebut dan terus menghilangkan diri di dalam kebun buah-buahan untuk menikmati buah-buahan yang sedang masak ranum itu.
Sekian

PUTERI SAADONG

PUTERI SAADONG BERAKHIR DI BUKIT MARAK?
Pemerintahan Puteri Saadong dikatakan berakhir pada kira-kira menjelang kurun ke-18, di akhir-akhir pemerintahan baginda tidak langsung disebut baik mana-mana juga buku sejarah, bahkan cerita-cerita lisan dari penduduk-penduduk negeri Kelantan pun tidak didapati, puas juga saya menjelajah keseluruh negeri Kelantan, ke Kampung-kampung yang jauh di pendalaman dan pernah juga saya menajalankan kajian di bukit Marak yang dikatakan tempat akhir sekali Puteri Saadong bersemayam tidak saya temui bahan-bahan yang boleh menolong mengesan lingkaran sejarahnya yang berikut.
Dengan berakhirnya pemerintahan Raja Abdul Rahim yang menggantikan pemerintahan Raja Abdullah di Kota Mahligai dan juga pemerintahan Puteri Saadong di Bukit Marak maka muncul semula pemerintahan di Jembal, iaitu pemerintahan Sultan umar (Raja Umar), baginda ini ialah adik kepada Raja Loyor, dan pangkat bapa saudara pula kepada Puteri Saadong.
Pemerintahan baginda ini dikatakan bermula pada tahun 1675, baginda mempunyai beberapa orang putera dan puteri, putera sulung baginda bernama Raja kecil Solong yang dirajakan di Kota Teras (di Kampung Teras dekat Kampung Mentuan), seorang lagi putera baginda bernama Raja Ngah atau dipanggil juga Raja Hudang memerintah di Tebing Tinggi Pusaran Buah (Kampung Tanjung Chat), seorang puteri Sultan Umar bernama Raja Pah telah berkahwin pula dengan Tuan Besar Long Bahar seorang putera raja yang datang dari Patani (dalam negeri Thai).
Mengenai Tuan Besar Long Bahar pula menurut Ringkasan Cetera Kelantan yang ditulis oleh Datuk Paduka Raja Kelantan Nik Mahmud bin Ismail adalah putera Wan Daim ataudisebut juga Datuk Pangkalan Tua, raja dari negeri Petani yang zuriatnya berasal dari keturunan anak-anak Raja Bugis bernama Paqih Ali.
Tuan Besar Long Bahar mempunyai beberapa orang saudara iaitu Tuan Solong Kelantan, Tuan Senik Genting dan Datuk Pasir Petani. Oleh kerana terjadinya perselisihan keluarga maka Tuan Besar Long Bahar telah merantau ke Negeri Kelantan dengan membawa bersama seorang putera yang bernama Long Sulaiman, dan di Kelantan Long Besar berkahwin pula dengan Raja Pah puteri Sultan Umar, kemudian Tuan Besar Long Bahar berpindah membuka sebuah tempat yang diberi nama Kota Kubang Labu (dalam Wakaf Baru sekarang).
Dalam tahun 1721 Sultan Umar telah mangkat dan baginda inilah juga yang disebut atau digelar raja Udang yang mana makamnya terdapat masa ini didalam kawasan sawah padi kira&127;&127;&127;&127;-kira dua rantai jauhnya dari sekolah Rendah Kebangsaan Kedai Lalat, begitu juga dengan Raja Bahar kekanda baginda yang memerintah Jembal yang mangkat pada tahun 1675 yang digelar raja ekor yang makamnya terdapat sekarang ini dikampung Tok kambing, Mukim Sering dekat Kota Bharu.
Dengan kemangkatan Sultan umar makam putera sulung baginda yang bernama Raja Kecil Solong yang sedang memerintah di Kota Teras tidak mahu mengambil alih pemerintahan di Jembal dari ayahndanya, dan dengan persetujuan baginda jugalah lalu diangkat adik iparnya iaitu Tuan Besar Long Bahar menjadi raja di Jembal, dan dengan itu Kota Kubang Labu diserahkan kepada pemerintahan putera baginda yang bernama Long Sulaiman, putera ini ialah dari isteri baginda di Patani.
Apabila pemerintahan Jembal dan juga pemerintahan di Kota Kubang Labu terserah kepada pemerintahan Tuan Besar Long Bahar dan putera baginda maka berakhirlah satu peringkat pemerintahan yang berasal dari zuriat Raja sakti yang memerintah Jembal, dan pada peringkat ini pula maka zuriat keturunan dari Tuan Besar Long Baharlah yang memerintah Jembal juga Kota Kubang Labu keturunan dari Tuan Besar Long Bahar ini jugalah asalnya raja-raja yang memerintah Negeri Kelantan hingga sekarang ini.
Dalam tahun 1977 dan seterusnya hingga tahun-tahun yang kemudian saya telah menjalankan kajian dibeberapa tempat disekitar Kedai Lalat yang letaknya kira-kira 7 batu dari bandar Kota Bharu, di kampung tersebut terletaknyamakam-makam Raja Loyor , iaitu ayahnda Puteri Saadong, menurut cerita dari penduduk-penduduk kampung sekitar yang saya dapati bahawa pada suatu ketika dulu terdapat beberapa orang siam yang datang untuk mengorek makam tersebut, kononya orang siam tersebut bermimpi bahawa didalam makam tersebut terdapat sebilah keris yang dianggap keramat atau mempunyai kuasa ghaib, begitu juga saya diberitahu pernah disuatu ketika ada orang-orang mencuri serpihan batu nisannya yang dibuat dari batu marmar, beberapa hari kemudian serpihan itu dipulangkan semula, menurut orang yang mengambil serpihan tersebut bahawa ia sering diganggu mimpi yang menakutkan.
Makam Raja Udang atau Sultan Umar mempunyai beberapa kepercayaan pula, makam ini terletak tidak jauh dari Masjid Kedai Lalat, waktu saya melawat ke makam tersebut saya dapati ada sebuah batu besar yang disebut batu hampar terletak berdekatan dengan makam tersebut, orang kampung disekitar ada yang percaya batu tersebut mempunyai kuasa-kuasa ghaib, batu tersebut sepanjang tiga kaki dan lebarnya lebih kurang dua kaki, tebalnya kira-kira enam inci (6 inci), tidak sesiapa yang berani mengambil batu tersebut walaupun pada hemah saya batu tersebut sangat baik dibuat tempat membasuh kain baju, saya percaya batu tersebut digunakan untuk membuat binaan makam, boleh jadi kerana besarnya tidak mencukupi maka lalu ditinggal begitu saja.
Saya juga telah melawat sebuah makam lagi di Kampung Tok Kambing iaitu kira-kira sebatu jauhnya dari Kedai Lalat, makam tersebut ialah dikenali sebagai makam Raja Ekor atau Raja Bahar, makam ini terdapat binaan yang dibuat dari batu pejal, sungguh menarik kerana terdapat ukiran yang terpahat, ukiran tersebut menggambarkan seekor burung (boleh jadi Burung Bangau) sangat menghairankan saya kerana biasanya perkuburan islam tidak menggambarkan benda-benda hidup saperti haiwan-haiwan.
Pahat yang berbentuk burung biasanya mempunyai pengaruh-pengaruh dari utara terutama dari Negeri China (meliputi negeri-negeri di Indo-China), adakah Raja Ekor ini seorang raja yang berasal dari Indo-China ataupun boleh jadi batu makam tersebut sengaja ditempa di Chempa (Republik Khamer) yang waktu di zaman dulu adalah pernah menjadi sebuah kerajaan yang umat islam dan pengaruh islam. Inilah satu perkara yng ahli-ahli penyelidik harus menjalankan pula satu kajian yang lebih mendalam, seelok-eloknya meninjau pula kenegri-negeri di Indo-China untuk melihat makam-makam Islam di zaman dulu yang banyak terdapat di negara tersebut, dapatlah dibuat perbandingan dengan makam-makam raja-raja Jembal yang terdapat di Kelantan terutama makam Raja Ekor yang masih menjadi mesteri.
PUTERI SAADONG BUNUH SUAMI KERANA CEMBURU.
Catitan Ibnu Batutah tentang negeri yang disebut Kilu-Kerai itu kurang jelas, baik tentang letak negeri tersebut dan juga gaya pemerintahan Raja Perempuan yang disebut Urd-uja itu, ialah satu perkara yang sangat rumit dapat dikesan oleh pakar-pakar sejarah.
Dengan keterangan yang sebegitu sedikit maka kita tidaklah boleh memberi kata putus bahawa Kilu-Kerai itulah yang sebenarnya Kuala Kerai yang terdapat di Negeri Kelantan sekarang ini, walau bagaimanapun perkara ini boleh diselesaikan jika sekiranya ada pakar-pakar sejarah yang betul-betul menjalankan penyelidikan khas mengenai perkara tersebut.
Dari beberapa keterangan yang diperolehi yakni berdasarkan dari hikayat-hikayat lama dan juga lain-lain catitan sejarah, adalah Negeri Kelantan telah wujud pemerintahan beraja yang berteraskan agama Islam pada kira-kira awal kurun ke 15, dikatakan raja yang mula-mula memerintah Kelantan yang dapat dikesan ialah Maharaja K'Umar atau disebut juga Raja K'Umar, pemerintahan baginda adalah sekitar tahun masehi 1411, tidak diketahui dimana letaknya pusat pemerintahan baginda, sesetengah ahli sejarah tempatan percaya pusat pemerintahan baginda terletak di Pulau Sabar, iaitu sebuah pulau yang terletak di tengah sungai Kelantan berhampiran dengan Kampung laut, pulau tersebut pada masa ini telah tenggelam.
Selepas pemerintahan K'Umar muncul pula pemerintahan Sultan Iskandar, pemerintahan baginda berakhir pada tahun 1465 masehi kerana dibinasakan oleh Angkatan Perang Siam (Thai), kononnya baginda dan lebih 100,000 rakyat Kelantan telah dapat ditawan dan dibawa kenegeri Siam, tidaklah diketahui tentang nasib raja tersebut adakah baginda mangkat di Siam atau juga dihantar pulang ke Kelantan.
Kira-kira pada tahun masehi 1477 sebuah angkatan perang dari Melaka yang diperintah oleh Sultan Mahmud telah datang menyerang dan mengalahkan Kelantan, Sultan Mansur iaitu Sultan Kelantan telah dapat ditawan, begitu juga ditawan ketiga-tiga puteri baginda iaitu Puteri Unang Kening, Cubak dan Cuban. Puteri Unang Kening yang paling jelita itu kemudian diperisterikan oleh Sultan Mahmud Shah, maka setelah Sultan Mansur Shah mengaku tunduk kepada pemerintahan Melaka lalu baginda diangkat semula menjadi sultan Kelantan, sejak itu negeri Kelantan dikira sebagai jajahan takluk Melaka.
Sultan mansur Shah mangkat pada kira-kira tahun masehi 1526, putera baginda yang bernama Raja Gombak telah dilantik menjadi pemerintah Kelantan, baginda bersemayam di Pulau sabar juga, dalam tahun 1548 Raja Gombak telah mangkat dengan tidak meningggalkan zuriat, oleh itu anak saudara baginda yang bernama Raja Ahmad telah dilantik menjadi pemerintah Kelantan, baginda bergelar Sultan Ahmad, menurut beberapa punca sejarah Sultan Ahmad ini mempunyai seorang puteri yang sangat jelita yang bernama Puteri Cik Wan Kembang, dan sewaktu Sultan Ahmad mangkat puteri ini masih kecil lagi, lalu dil;antik aeorang anak raja dari Johor yang bernama Raja Husain memangku raja dengan bergelar Sultan Husain.
Sultan Husain yang memerintah kelantan itu dikatakan mangkat pada tahun 1610, dengan itu lalu dilantik Cik wan Kembang menjadi pemerintah Kelantan. Raja perempuan Kelantan ini dikatakan berpindah dari Pulau Sabar ke sebuah tempat yang sangat jauh di pendalaman iaitu Gunung Cinta Wangsa (terletak kira-kira 27 batu ke tenggara Kuala Kerai).
GANJIL
Mengapa baginda berpindah begitu jauh dari tebing sungai Kelantan adalah satu perkara yang sungguh ganjil, biasanya pemerintahan raja-raja di zaman dahulu adalah memilih tempat-tempat yang berhampiran dengan sungai, kerana sungailah yang menjadi jalan dan perhubungan yang penting ketika itu.
Harus jugalah pada fikiran raja perempuan itu bahawa tempat tersebut lebih selamat dan tenteram dari apa juga gangguan luar, terutama sekali gangguan dari pemerintahan Siam yang dianggap kuasa yang teragung ketika itu.
Dalam jangka yang sama di zaman pemerintahan Cik Wan Kembang, atau pada pedagang-pedagang bangsa Arab disebut Cik Siti (Cik Siti wan Kembang), maka di Negeri Kelantan telah wujud sebuah lagi pemerintahan beraja yang berpusat di Jembal (Kedai lalat sekarang iaitu kira-kira 6 batu dari bandar Kota Bharu). raja yang memerintah disitu bernama Raja Loyor putera Raja Sakti yang berasal dari Kedah.
Ada sesetengah ahli sejarah tempatan berpendapat yang Raja Loyor berkahwin dengan Namng Cayang yang dikatakan seoarang raja perempuan Pattani yang melarikan diri ke Kelantan, dari perkahwinan itu mereka beroleh seorang puteri yang diberi&127; nama Puteri Saadong, Puteri Saadong inilah yang kemudiannya diambil oleh Cik Siti Wan Kembang menjadi anak angkatnya, kerana baginda sendiri tidak mempunyai anak. Puteri Saadong pula berkahwin denban sepupunya yang bernama Raja Abdullah, kemudian Raja Abdullah telah dilantik menjadi raja di tempat yang bernama Cetak (dalam Jajahan Pasir Mas). Tidak lama di situ Raja Abdullah berpindah pula bersemayam di Kota Mahligai (dalam Daerah Melor sekarang).
Setelah Raja Abdullah dan Puteri Saadong berkerajaan di Kota Mahligai, maka Cik Siti Wan Kembang pun balik semula bersemayam di Gunung Ayam, setelah itu tidak lagi didapati cerita tentang Cik Siti Wan Kembang adakah baginda berpindah ke tempat lain atau mangkat di tempat tersebut.
Memanglah satu perkara yang sukar untuk mengesantentang kedudukan tempat semayam Cik Siti Wan Kembang yang sebenarnya, kerana di negeri Kelantan terdapatdua buah gunung yang bernama Gunung Ayam, sebuah terletak kira-kira 17 batu ke barat Gua Musang, gunung tersebut setinggi 2,945 kaki, terletak pula terlalu jauh dirimba yang sangat sukar dijalankan penyelidikan, sebuah lagi Gunung Ayam terletak dekat dengan sempadan negeri Terengganu iaitu kira-kira 15 batu ke timur laut Kuala Kerai, gunung tersebut setinggi 2,674 kaki, terletaknya pula jauh jauh ke dalam rimba. Gunung Ayam yang mana satu menjadi tempat dan pusat pemerintahan Cik Siti Wan Kembang.
Waktu saya melawat makam Tuan Tabal atau nama batang tubuhnya Tuan haji Abdul samad bin Muhammad, seorang tokoh pengembang agama Islam yang terkenal di negeri Kelantan, yang meninggal dunia pada tahun 1891 dan dan dimakamkan di perkuburan Banggul, jalan ke Pantai Cahaya Bulan (Pantai Cinta Berahi), saya juga telah diberitahu oleh Encik Nik Abdul Rahman bin Nik Dir yang memandu saya ke makam tersebut bahawa tidak berapa jauh dari makam Tuan Tabal itu terdapat sebuah makam lama yang sangat cantik dibina dari batu pejal serta berukir pula, makam tersebut orang-orang Banggul menyebut Makam Cik Siti, saya juga telah makam tersebut, kesimpulannya dari kajian saya tidak syak lagi makam tersebut adalah sebuah makam lama dari seorang perempuan yang dari keturunan raja-raja atau orang-orang besar juga, dan seni ukir pada binaan makamnya menggambarkan seni ukir yang hampir persamaannya dengan makam-makam di jembal dan juga makam-makam di permakaman DiRaja Langgar, adakah ini yang sebenarnya makam Cik Siti Wan Kembang adalah satu perkara yang sangat menarik dan perlu dibuat kajian yang lebih teliti.
NISAN
Berdasarkan tanah perkuburan Banggul saya yakin adalah satu tanah perkuburan yang sangat lama, mungkin tanah perkuburan tersebut telah digunakan beratus-ratus tahun lampau, di perkuburan Banggul itu juga akan memperlihatkan kepada kita berbagai-bagai jenis bentuk batu nisan yang ganjil-ganjil serta ada pula yang berukir dan bertulis ayat-ayat Quiran yang sangat cantik dan menarik.
Dengan berakhirnya pemerintahan Cik Siti Wan Kembang yang tidak dapat dikesan di akhir pemerintahannya, maka muncullah pemerintahan Raja Abdullah di Kota Mahligai.
Pemerintahan Raja Abdullah berakhir pada tahun 1671 iaitu apabila baginda mangkat dibunuh oleh isterinya Puteri Saadong, lalu Puteri Saadong melantik pula Raja Rahim anak Raja Abdullah merajai Kota Mahligai. Tidak lama setelah Raja Rahim memerintah baginda kemudian dibunuh pula oleh rakyatnya di tepi tasik Lelayang Mandi. Dengan kemangkatan Raja Rahim maka berakhirlah pemerintahan beraja di Kota Mahligai.
Konon menurut cerita Puteri Saadong telah lama ditawan dan di bawa ke Siam (Thailand) iaitu ketika tentera-tentera Siam datang melanggar Kelantan waktu mereka mula-mula berkahwin dan bersemayam di Kota Mahligai, selepas beberapa tahun Puteri Saadong di Siam, baginda di hantar balik ke Kelantan. Alangkah terkejutnya Puteri Saadong bila mendapati yang suaminya Raja Abdullah telah berkahwin lain, maka dari punca itulh berlakunya pertengkaran dan berakhir kemangkatan Raja Abdullah dengan tikaman pacak sanggul isterinya.

Sumber:

Oleh : N A Halim (Muzium Negara)
Petikan : Mingguan Malaysia 28hb.Okt.1979

Bali MANIK ANGKERAN ASAL MULA SELAT BALI

bali2.GIF (11695 bytes)
Bali
MANIK ANGKERAN
ASAL MULA SELAT BALI
Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran. 
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama  kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu  menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pul

Sabtu, 11 Desember 2010

Cindelaras

Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri. “Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk menyingkirkan permaisuri,” pikirnya.
Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit parah. Tabib istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang permaisuri ke hutan.
Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja menganggung puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur. “Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia sengaja memberikan telur itu kepadaku.” Setelah 3 minggu, telur itu menetas. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus dan kuat. Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…”